Sabtu, 24 Maret 2012

Satu Tahun Peringatan Bencana di Jepang (1 tahun pasca bencana di Jepang)

berjuang sekuat tenaga dan memulai lagi untuk menata hidup.
Kondisi Jepang pada saat bencana terjadi membuat Tokyo dan beberapa daerah sekitarnya menjadi lumpuh saat itu. Krisis listrik membuat transportasi utama di Jepang yaitu kereta api berhenti beroperasi saat itu. Keluarga sahabat bercerita bahwa mereka harus berjalan kaki dari Tokyo di siang hari dan baru tiba di daerah Chiba sekitar pukul 2 pagi. Bahkan mereka sampai tidur di sebuah convenience store, karena terlalu lelah berjalan kaki.
Kondisi jalan macet saat itu namun yang perlu diacungi jempol adalah keteraturan masih tercipta, tidak ada bunyi klakson dan semua tetap sabar dan mengantri. Ya mengantri memang salah satu budaya yang sangat lekat dengan negara Jepang. Sangat wajar bila di Jepang kita melihat banyak antrian dimana-mana.
Kondisi Jepang benar-benar kacau pada saat itu. Di wilayah Jepang bagian timur laut seperti Tokyo, Chiba, Saitama, Ibaraki, Miyagi, dan daerah lainnya mengalami krisis listrik. Pemadaman bergilir dilakukan di wilayah yang terkena imbas akan krisis listrik tersebut. Namun yang perlu dikagumi adalah semua orang di Jepang sama, tidak ada yang istimewa. Karenanya istana kekaisaran Jepang dan tempat tinggal Perdana Mentri pun ikut mengalami pemadaman listrik.
*Di Indonesia?! Nampaknya pemimpin akan mengalami perlakuan khusus jika ada pemadaman listrik oleh PLN. Adakah sosok pemimpin Indonesia nantinya yang betul-betul merakyat?!
Jepang merupakan negara yang diapit oleh 4 lempeng tektonik, sehingga gempa sering sekali terjadi. Selama saya tinggal di Jepang sudah puluhan kali mengalami gempa bahkan mungkin hampir mencapai ratusan. Namun Jepang memiliki sistem peringatan dini terbaik di dunia. Sehingga hanya butuh waktu 2 menit untuk mengetahui kepastian dan informasi tentang gempa. Namun tentu saja sistem yang baik jika tidak didukung dengan kepatuhan rakyatnya tentu akan percuma. Sehingga antara rakyat Jepang dan sistem tersebut harus saling menunjang sehingga Jepang bisa tetap kuat meski menghadapi bencana sekalipun.
Pasca bencana krisis listrik, bahan bakar dan pangan banyak terjadi. Namun hanya butuh waktu 1 minggu untuk memulihkan kelangkaan bahan bakar. Jalan tol Great Kanto Highway yang rusak parah dan terbelah pun bisa diperbaiki dalam waktu 6 hari. Kereta api yang menghubungkan Fukushima dan Iwate pun tiga hari kemudian sudah kembali beroperasi, padahal  daerah ini parah kerusakannya.
Kelebihan Jepang terletak pada SDM yang unggul dan nasionalis. Ibarat satu bagian tubuh terluka, maka bagian lain akan menopang untuk bangkit dan sembuh kembali. Seperti yang diputar di televisi untuk memperingati satu tahun pasca bencana di Jepang ada lagu yang liriknya seperti berikut :
“Anata wa hitori janai to” – Kamu tidak sendiri…
Semangat nasionalis pun sudah tertanam dalam masyarakat sejak kecil. Terbukti bahwa anak-anak SD pun ikut menjadi sukarelawan di tempat pengungsian dengan memberikan bantuan untuk memijat para orang tua.
Selain itu mental masyarakat Jepang kuat dan tidak suka mengasihani diri sendiri. Hal ini bisa dilihat ketika rombongan pengungsi tiba di tempat pengungsian tidak ada air mata yang menetes, keluh kesah, ataupun ratapan nasib. Mereka semua tegar dan tahan banting. Kehilangan rumah, mobil, dan materi semua memang membuat sedih, tetapi masih bisa didapatkan kembali dengan kerja keras. Kehilangan anggota keluarga itulah yang paling menyedihkan.
Rakyat Jepang sungguh mandiri dan tidak mau merepotkan orang lain. Para korban juga umumnya tidak berdiam diri dan melakukan apa yang bisa mereka kerjakan. Mereka tidak menunggu bantuan dari pemerintah atau minta dikasihani, justru mereka langsung mengerjakan dan melakukan dengan kemampuan yang ada.
*Di Indonesia saya cukup yakin masyarakat kita memiliki nasionalisme yang cukup tinggi. Namun dari segi mental, masyarakat Indonesia umumnya memiliki mental yang lemah. Saya pun tidak menepis jika saya juga masih memiliki mental yang lemah meski saya berada di Jepang. Tetapi… saya yakin akan ada titik cerah di Indonesia dimana Indonesia bisa bangkit dan mental masyarakat yang kuat juga perlahan-lahan akan terbentuk.
Ketangguhan bangsa Jepang juga bisa terlihat dari etika jurnalisme yang sangat mengagumkan. Para jurnalis tidak mencari berita di atas penderitaan rakyat Jepang. Justru berita yang dimunculkan adalah kisah-kisah nyata dari korban selamat dan perjuangan korban di lokasi bencana.
Pihak pemerintah dan swasta saling mendukung satu sama lain. Iklan di televisi “dibeli” oleh pemerintah. Pemerintah juga menayangkan iklan yang tentu akan menohok bagi siapapun yang menyaksikan iklannya. Bunyi iklan nya seperti ini
“(Kokoro) wa dare ni mo mienai karedo, (Kokoro) tsukai wa mieru” – Di dalam hati tak seorang pun bisa melihat, tetapi tindakan berdasarkan hati dan tenggang rasa akan terlihat.
“(Omoi) wa mienai karedo, (Omoiyari) wa dare ni demo mieru” – Di dalam pikiran atau rasa dapat tidak terlihat, tetapi pikiran yang diwujudkan bisa terlihat oleh siapapun.
Iklan yang mengajak rakyat Jepang untuk berempati terhadap sesamanya, bahu membahu membantu sesamanya yang sedang kesusahan dan lemah. Sebab… TIDAK PERLU HARUS KAYA RAYA UNTUK MENJADI SEORANG RELAWAN, YANG PENTING NIAT UNTUK MEMBANTU. Dan pantang bagi seorang relawan di Jepang untuk meminta uang/ongkos kepada korban bencana atau pemerintah.
Bahkan seorang kaisar Jepang dan keluarganya pun turun tangan ke lokasi pengungsian sampai mereka membatalkan rencana menghadiri pernikahan pangeran William dan Kate Middleton di London saat itu. Tidak ada upacara berlebihan ketika kaisar turun langsung ke lokasi pengungsian dan kaisar pun tidak minta diperlakukan secara istimewa karena ingin dekat dengan rakyat.
Pihak swasta pun ikut membantu tanpa memanfaatkan situasi. Seperti yang dilakukan oleh restoran Sukiya yang terkenal dengan masakan gyuudon (makanan olahan daging sapi yang terkenal di Jepang) mereka membagikan makanan gratis kepada para pengungsi tanpa embel-embel iklan. Stereofoam tempat untuk makanan berwarna putih polos tanpa memanfaatkan situasi untuk menarik perhatian bahwa restoran “Sukiya” lah yang memberikan makanan tersebut.
*Nah mari kita melihat diri kita masing-masing… Sudah tuluskah kita membantu sesama?! Apakah kita mengharapkan pamrih jika melakukan sebuah kebaikan?!
Data yang dirilis oleh Nihon Keizai mengatakan bahwa total kerugian yang dialami Jepang mencapai US$ 309 miliar atau setara dengan 2800 triliun rupiah. Bencana di Jepang 11 Maret 2011 dinyatakan sebagai bencana alam termahal di dunia.
Tetapi negeri Jepang adalah negeri Jepang… Masyarakatnya juga merupakan manusia…Masyarakat dunia mungkin menganggap Jepang telah pulih, tetapi sebenarnya Jepang juga masih memiliki cacat. Masih banyak korban yang belum ditemukan dan hilang. Saya pun hanya bisa berdoa bagi para korban yang selamat dan tidak serta berdoa agar Jepang yang merupakan tempat saya menempa ilmu saat ini bisa bangkit kembali.
 “Ganbarou nippon” – berjuanglah Jepang…  
PS : Sebagian isi cerita saya ini saya ambil dan saya kutip dari buku “Japan Aftershock”. Buku “Japan Aftershock” bisa diperoleh di toko buku di Indonesia. Buku tersebut sangat saya rekomendasikan kepada seluruh pembaca sekalian. Dari buku tersebut kita bisa banyak belajar dari bangsa Jepang. Kita bisa mengambil sisi positif dari bangsa Jepang untuk menciptakan Indonesia yang saya percaya suatu saat bisa lebih baik dari Jepang. Semangat untuk Indonesia dan mari jadikan Indonesia bangsa yang lebih baik.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar