Jelang jam 10 malam, ketukan di pintu kamar mandi mengagetkan saya yang
sedang asyik jebar-jebur. Saya mematikan keran supaya bisa mendengar
dengan jelas. Di luar, Mira, seorang kawan yang membantu saya mencari
kamar kos, berseru minta nomor handphone sahabat saya yang juga sepupunya. Ada urgensi dalam suaranya.
Saya menyebut 11 digit angka yang sangat saya hafal sambil bertanya-tanya dalam hati.
Belum sempat saya menanyakan apa-apa, Mira sudah mendahului menjawab.
“Papaku sudah nggak ada, Jen. Kecelakaan…”
Gayung yang siap saya siramkan ke tubuh terhenti di udara. Mendadak tangan saya –tidak, sekujur tubuh saya- kaku.
“Ya ampun, Mir…,” hanya itu yang sempat saya lisankan. Mira sudah turun
kembali ke kamarnya di lantai bawah. Saya menyudahi acara mandi dengan
terburu-buru, mengeringkan tubuh seadanya dan bergegas menyusulnya.
Rambut yang basah saya biarkan tergerai tanpa sempat diapa-apakan.
Di bawah, Mira dan 2 orang teman duduk mengelilingi meja kayu bundar.
Saya mendekati mereka tanpa bisa berkata-kata. Hati saya mencelos
melihat Mira yang tidak mengeluarkan airmata sedikitpun, namun mulutnya
terus komat-kamit melafalkan doa.
Saya duduk, bertukar pandang dengan teman-teman. Kami sama-sama diam.
Hanya suara Mira yang terdengar lirih, mengucapkan sebaris ayat dalam
kitab Mazmur.
Saya tak tahu harus berkata apa. Yang ada hanya risau yang dalam. Saya
mengenal Mira dan Lisa –adiknya- saat mereka pertama kali menjejakkan
kaki di Jakarta, bertahun-tahun silam. Kedekatan saya dengan sepupu
mereka membuat kami jadi akrab dalam waktu singkat. Saya, Mira dan Lisa
sering sekali menginap bersama dan hang out bareng, layaknya saudara sendiri.
Kini, mendengar mereka kehilangan Ayah dengan cara yang tragis, saya merasa sebagian jiwa saya ikut melayang. Entah kemana.
Mira masih komat-kamit melisankan doa dan segala kalimat untuk menenangkan diri. Saya meraih handphone untuk menelepon Lisa. Telepon tersambung. Di ujung sana, Lisa menangis histeris bahkan sebelum saya sempat berkata apa-apa.
Saya menyerahkan handphone kepada Mira. Mira berbicara dengan lembut, menenangkan adiknya.
“Nggak apa-apa ya, Lisa. Papa sudah di surga. Lisa harus kuat, ya.”
Sejurus kemudian, Mira masuk ke dalam kamar. Saya mengira ia akan
menumpahkan tangis di sana, tapi tak lama kemudian ia keluar dengan
bungkusan besar yang diletakkannya di atas meja.
Saya memandangi kantung plastik putih itu dalam diam. Teman-teman saya melakukan hal yang sama.
Bungkusan itu berisi 6 kotak susu, minyak goreng dan 2 bungkus besar havermut.
Mira yang sudah punya firasat buruk jauh hari sebelum peristiwa itu,
menghabiskan simpanan uangnya untuk berbelanja bagi sang Ayah, yang
rencananya akan ia paketkan ke Jawa dalam waktu dekat. Sayang, sebelum
niat itu terlaksana, Ayahnya telah mendahului menghadap Sang Kuasa.
“Nggak apa-apa ya, Pa?” ucapnya lirih, “Papa sudah di surga sekarang,”
kalimat itu terhembus kelu, perih, meski tak ada setitik pun airmata
yang jatuh.
“I did the best already,” bisiknya. Lagi-lagi dada saya sesak.
“Nggak ada yang aku sesali…” kali ini ada seuntai senyum di wajah Mira.
Tipis. Matanya lekat menatapi kotak-kotak susu yang terjajar bisu.
“Beneran nggak ada. I did the best already...”
Handphone saya berdering. Sepupu Mira menelepon, meminta saya
menguatkan Mira dan memberitahunya untuk bersiap-siap karena sebentar
lagi akan dijemput. Mira beranjak masuk ke kamar, sementara kami
anak-anak kos sibuk kasak-kusuk urunan seadanya untuk membantu meringankan bebannya.
Selesai menitipkan rupiah yang tak seberapa pada seorang teman untuk diamplopi, saya meraih handphone dan beranjak keluar. Di teras yang sepi, ditemani angin malam yang membelai lembut, saya menekan sebaris angka.
Tak tersambung. Saya menunggu, kemudian menelepon lagi.
Tetap tak tersambung.
Saya termangu, memikirkan begitu banyak hal yang tiba-tiba berserabutan di otak tanpa bisa terkendali.
Ah, hidup. Berapa panjangkah?
Dengan apa saya akan mengisi lembaran hari yang terus berlalu ini? Apa
yang akan saya tuliskan pada halaman-halaman bersih yang saya temui
setiap pagi? Ketika esok menjelang, akankah saya mengisinya dengan
sebait bahagia bersalut syukur? Ketika hari berlalu, akankah saya
menengok ke belakang dan menemukan sesal?
Dan bagaimana dengan orang-orang yang saya cintai? Mereka yang mengisi
hati ini setiap harinya? Mereka yang saya kasihi, meski rasa itu jarang
terverbalkan?
Deru motor menyentakkan saya dari lamunan. Sepupu Mira telah datang, siap membawanya pergi. Berdua, kami menunggu Mira di teras.
Handphone saya kembali berdering. Kali ini dari nomor yang saya tunggu-tunggu sejak tadi.
“Kamu cari Papa?” suara itu bagaikan angin sejuk di telinga saya. “Kenapa?”
Konversasi itu tidak panjang. Tidak perlu bertele-tele. Tidak perlu
banyak basa-basi dengan sosok yang telah saya kenal puluhan tahun. Tidak
perlu kata-kata indah penuh puisi, karena kami telah saling mengerti.
Malam ini, saya hanya ingin berbagi dengannya. Memberitahu bahwa saya punya cinta untuknya. Selalu.
Di penghujung dialog, saya bisikkan 3 kata sederhana: “I love you.”
Ayah saya membalasnya dengan kalimat yang sama, meski tersirat kebingungan dalam suaranya.
Mira telah selesai berberes. Bertiga, kami bermotor menyusuri malam, menuju rumah sang sepupu yang tak jauh dari situ.
Di atas motor, tak henti-hentinya saya bersyukur. Bahwa saya masih bisa
mengucapkan sayang pada orang yang saya kasihi. Bahwa kesempatan untuk
memverbalkan cinta masih bisa saya nikmati. Bahwa saya masih diberi
peluang untuk mengisi lembar-lembar hidup ini dengan tinta emas yang
indah, dengan sebentuk rasa bernama bahagia dan syukur.
Terima kasih, Tuhan.
Tak putus saya melisankan syukur atas sebuah pelajaran berharga yang
saya terima malam ini – bahwa sebagaimana kematian memisahkan kita dari
kehidupan, kematian juga dapat mendekatkan kita pada kehidupan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar